Minggu, 29 Agustus 2010

fertilisasi spermatozoa ikan tawes (Barbonymus gonionotus) pascakriopreservasi satu hari

1. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat keragaman hayati yang tinggi. Satu di antara keanekaragaman hayati tersebut adalah bidang perikanan. Kekayaan alam dalam bidang perikanan tersebut mencapai 8.500 spesies yang tersebar di perairan tawar, payau, dan laut (Supriatna 2008: 7 & 393). Namun demikian, kekayaan alam tersebut tidak dimanfaatkan secara tepat. Akibatnya, eksploitasi secara berlebihan yang berujung pada pengrusakan lingkungan terus terjadi. Permasalahan tersebut dapat teratasi dengan melakukan upaya konservasi. Upaya konservasi yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan menerapkan teknik kriopreservasi.

Kriopreservasi merupakan suatu teknik penyimpanan sel hewan, tumbuhan ataupun materi genetika lain (termasuk semen dan oosit) dalam keadaan beku melalui reduksi aktivitas metabolisme tanpa memengaruhi organel-organel di dalam sel, sehingga fungsi fisiologi, biologi, dan morfologi tetap ada (Gazali & Tambing 2001: 27). Teknik kriopreservasi lebih sering dilakukan pada spermatozoa. Hal tersebut dikarenakan proses pengawetan spermatozoa lebih mudah dan lebih tahan terhadap suhu rendah pada saat penyimpanan dibandingkan ovum atau embrio (Jamieson 1991: 266). Teknik kriopreservasi pada ikan banyak dilakukan pada spesies dari family Cyprinidae (Routray dkk 2007: 2). Ikan tawes (Barbonymus gonionotus, Bleeker 1850) merupakan salah satu spesies ikan family Cyprinidae. Kematangan gonad yang relatif lebih cepat dibandingkan spesies lainnya menjadikan ikan tawes dapat digunakan sebagai hewan model dalam kriopreservasi, seperti halnya ikan family Cyprinidae lainnya.

Tingkat keberhasilan kriopreservasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pengencer (Billiard dkk. 1995: 26). Pengencer merupakan salah satu faktor penting keberhasilan teknik kriopreservasi. Pengencer yang digunakan terdiri atas ekstender dan krioprotektan. Larutan Ringer merupakan salah satu jenis ekstender yang biasa digunakan dalam teknik kriopreservasi (Muchlisin 2005: 13). Krioprotektan, seperti halnya ekstender merupakan salah satu agen yang berperan penting dalam teknik kriopreservasi. Krioprotektan dapat mengurangi kerusakan sel akibat pembentukan kristal es dan bahkan dapat menekan pembentukan kristal es. Krioprotektan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu krioprotektan intraseluler (permeating cryoprotectant) dan krioprotektan ekstraseluler (nonpermeating cryoprotectant). Krioprotektan intraseluler dapat menembus membran sel, sedangkan krioprotektan ekstraseluler tidak dapat menembus membran sel dan biasanya bekerjasama dengan krioprotektan intraseluler dalam melindungi sel dari kerusakan selama kriopreservasi (Jamieson 1991: 239--240).

Salah satu jenis krioprotektan ekstraseluler yang dapat digunakan dalam kriopreservasi adalah susu skim. Susu skim merupakan jenis susu yang memiliki kandungan lemak yang sangat rendah, yaitu hanya 0,1--0,3% . Susu skim diproses dengan cara menghilangkan sebagian besar atau hampir keseluruhan lemaknya (The Dairy Council 2010: 1). Susu skim digunakan dalam kriopreservasi karena dapat melindungi sel spermatozoa dari kerusakan sel selama proses kriopreservasi (Singsee dkk. 2005: 207). Penggunaan krioprotektan ektraseluler seperti susu skim, biasanya dikombinasikan dengan jenis krioprotektan intraseluler, misalnya metanol. Metanol merupakan salah satu bentuk alkohol. Metanol merupakan suatu larutan tidak berwarna yang mudah terbakar dengan bau yang cukup tajam, mirip dengan etil alkohol. Metanol bersifat dapat larut dalam air (Terra 2001: 1). Penggunaan kombinasi antara susu skim dan metanol sebagai krioprotektan dapat mempertahankan kualitas spermatozoa hasil kriopreservasi. Penelitian Zuraida (2009) menunjukkan adanya peningkatan nilai motilitas spermatozoa pascakriopreservasi dibandingkan kontrol. Anindita (2010) juga menggunakan kombinasi susu skim dengan metanol dalam kriopreservasi ikan gurame. Hasil penelitiannya juga memperlihatkan peningkatan nilai persentase motilitas spermatozoa pascakriopreservasi dibandingkan dengan kontrol.

Fertilisasi merupakan proses penyatuan antara sel telur dengan sel spermatozoa untuk membentuk zigot. Fertilisasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu fertilisasi internal dan eksternal. Fertilisasi yang umumnya terjadi pada ikan merupakan jenis fertilisasi eksternal, dikarenakan terjadi di luar tubuh induk (Fujaya 2002: 173). Keberhasilan proses fertilisasi dipengaruhi oleh kemampuan sperma untuk membuahi sel telur. Sperma yang tidak dikriopreservasi (fresh sperm) memiliki kemampuan fertilisasi yang lebih tinggi dibandingkan sperma hasil kriopreservasi. Hal tersebut dikarenakan teknik kriopreservasi menyebabkan terjadinya penurunan kualitas sperma, seperti terjadinya perubahan dalam motilitas dan durasi pergerakan (Akcay dkk. 2004: 842). Penelitian mengenai fertilisasi spermatozoa pascakriopreservasi telah banyak dilakukan. Sultana dkk. (2010) telah melakukan fertilisasi spermatozoa ikan mas. Hasilnya menunjukkan penurunan tingkat fertilisasi akibat proses kriopreservasi, yaitu dari 88% menjadi hanya 32--37%. Penelitian Horvath dkk. (2003) juga menunjukkan terjadinya penurunan kemampuan fertilisasi ikan mas pascakriopreservasi dari persentase 84% (kontrol) menjadi hanya sekitar 71--74%. Namun demikian, pengaruh penggunaan krioprotektan berupa campuran 5% metanol dan susu skim dalam fertilisasi spermatozoa ikan tawes pascakriopreservasi belum diketahui. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat fertilitas spermatozoa ikan tawes pascakriopreservasi.

2. RUMUSAN MASALAH, TUJUAN PENELITIAN, DAN HIPOTESIS

Kriopreservasi merupakan suatu teknik penyimpanan sel hewan, tumbuhan ataupun materi genetika lain (termasuk semen dan oosit) dalam keadaan beku melalui reduksi aktivitas metabolisme tanpa memengaruhi organel-organel di dalam sel, sehingga fungsi fisiologi, biologi, dan morfologi tetap ada (Gazali & Tambing 2001: 27). Kriopreservasi spermatozoa ikan telah banyak dilakukan, yaitu sekitar 200 spesies ikan yang telah berhasil dikriopreservasi (Akcay dkk. 2004: 837). Ikan tawes (Barbonymus gonionotus), seperti halnya spesies ikan family Cyprinidae lainnya juga dapat dilakukan proses kriopreservasi. Penelitian mengenai kriopreservasi ikan tawes sudah mulai banyak dilakukan, di antaranya oleh Rahayu (2009) dan Zuraida (2009).

Rahayu (2009) telah melakukan penelitian kriopreservasi ikan tawes dengan menggunakan ko-krioprotektan berupa kuning telur. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan kuning telur sebagai ko-krioprotektan (konsentrasi 15%) memberikan peningkatan persentase motilitas dan viabilitas spermatozoa ikan tawes pascakriopreservasi dengan rata-rata sebesar 96,10% dan 85,50%. Persentase abnormalitas yang didapatkan juga mengalami penurunan dengan rata-rata sebesar 16%. Zuraida (2009) juga telah berhasil melakukan penelitian kriopreservasi spermatozoa ikan tawes dengan menggunakan kombinasi krioprotektan antara metanol dan susu skim. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi 5% metanol dengan 20% susu skim memberikan hasil yang terbaik dibandingkan konsentrasi susu skim lainnya (0%, 5%, 15%, dan 25%). Namun demikian, penelitian tersebut belum meneliti mengenai fertilisasi spermatozoa ikan tawes hasil kriopreservasi. Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk mengetahui kemampuan fertilisasi spermatozoa hasil kriopreservasi. Hasil penelitian tersebut diharapkan dapat diperoleh konsentrasi susu skim yang optimal dalam mempertahankan kemampuan fertilisasi spermatozoa ikan tawes pascakriopreservasi.

Tujuan dilakukan penelitian fertilisasi spermatozoa ikan tawes pascakriopreservasi adalah untuk mengetahui kemampuan fertilisasi spermatozoa hasil kriopreservasi selama satu hari yang menggunakan campuran 5% metanol dengan berbagai konsentrasi susu skim. Hipotesis penelitian tersebut, yaitu campuran 5% metanol dengan konsentrasi susu skim 20% memberikan hasil yang terbaik dalam mempertahankan kemampuan fertilisasi spermatozoa ikan tawes satu hari pascakriopreservasi.

3. KERANGKA TEORI

3.1. Ikan Tawes

Menurut ITIS (2010: 1), ikan tawes dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Class : Actinopterygii

Ordo : Cypriniformes

Family : Cyprinidae

Genus : Barbonymus

Species : Barbonymus gonionotus (Bleeker, 1850)

Ikan tawes memiliki beberapa nama lokal, di antaranya bader, putihan, tawes (Indonesia), silver barb, javanese barb (Inggris), trey chhpin (Kamboja), nga gin shwewar (Myanmar), tawes (Filipina), pla ta pien (Thailand), cá mè vinh (Vietnam), barbo de Java (Spanyol), barbeau de Java (Perancis), rajputi (Bangladesh), ruhu (India), dan barbo-cumba (Portugal) (CAB International 2006: 1).

Ikan tawes memiliki bentuk tubuh yang serupa dengan jenis ikan family Cyprinidae lainnya. Bagian kepala ikan tawes kecil, dengan mulut yang meruncing ke arah terminal. Tubuh ikan tawes berwarna putih keperakan, terkadang dengan sedikit warna keemasan. Bagian sirip dorsal dan kaudal berwarna abu-abu hingga abu kekuningan. Bagian sirip anal dan panggul (pelvic) berwarna jingga terang, sedangkan sirip pektoral berwarna kuning terang (Torres 2010: 1).


Gambar 2.1 Ikan tawes (Barbonymus gonionotus)

[Sumber: Torres 2010: 1.]

Ikan tawes merupakan salah satu jenis ikan asli Indonesia. Ikan tawes banyak ditemukan di sungai-sungai besar di wilayah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Wilayah penyebarannya cukup luas, meliputi Laos dan Vietnam. Jenis ikan tawes yang banyak dikenal masyarakat, yaitu ikan tawes yang berwarna putih abu-abu, albino, berwarna abu-abu dengan bercak perak, dan ikan tawes dengan sirip perut relatif panjang. Ikan tawes merupakan salah ssatu jenis ikan herbivora. Pemijahan ikan tawes dapat dilakukan secara alami dan buatan. Induk yang digunakan dalam pemijahan mempunyai berat sekitar 300--500 g/ekor dan umur kematangan gonadnya 8--12 bulan. Jumlah telur yang dapat dihasikan sekitar 1000 butir/gram berat badan. Umumnya induk betina dapat mengahsilkan telur hingga 20.000 butir/ekor/ Induk yang digunakan untuk pemijahan harus sehat, tidak mengalami cacat fisik, baik bentuk badan maupun sisiknya (Nugroho & Kristanto 2008: 119--120).

Pemijahan secara buatan dapat dilakukan dengan memberikan rangsangan menggunakan hipofisa atau hormon Ovaprim. Hipofisa dberikan dengan perbandingan antara donor dan resipien sebesar 1: 1,5. Hormon Ovaprim diberikan dengan kadar sebesar 0,35 ml/kg. Penyuntikan dapat dilakukan sebanyak satu hingga dua kali. Pemijahan biasanya terjadi setelah 6--14 jam dari penyuntikan pertama. Pemijahan ikan tawes biasanya terjadi pada malam hari, yaitu pukul 19.00--22.00. Pemijahan secara buatan dilakukan dengan cara mengumpulkan sel telur dan spermatozoa dengan cara pengurutan pada bagian perut induk. Sel telur dan spermatozoa dicampur, kemudian diaduk dengan menggunakan bulu ayam, dan diaktifkan dengan air (Nugroho & Kristanto 2008: 120--121).

3.2. Karakteristik spermatozoa dan sel telur

3.2.1. Spermatozoa

Spermatozoa merupakan sel kelamin jantan yang dihasilkan dalam cyste seminiferus yang terdapat dalam kantung-kantung testis. Bentuk spermatozoa dapat berbeda-beda tergantung spesies, namun secara umum terdiri atas kepala dan ekor. Bentuk tersebut memungkinkan spermatozoa dapat bergerak. Panjang spermatozoa ikan berbeda-beda, tetapi rata-rata berkisar antara 40--60 µm dengan panjang kepala hanya 2--3 µm. Spermatozoa tidak melakukan gerakan dalam plasma semen, tetapi akan bergerak jika bersentuhan dengan air. Sebagian besar spermatozoa ikan air tawar dapat bergerak hanya dalam waktu 2--3 menit setelah bersentuhan dengan air. Stimulasi dan lama pergerakan spermatozoa dipengaruhi oleh usia, kematangan spermatozoa, suhu, dan faktor lingkungan, seperti ion, pH, dan osmolalitas. Kecepatan pergerakan spermatozoa dapat berbeda pada tiap spesies. Kecepatan gerak tersebut berhubungan dengan kandungan ATP intraseluler yang dihasilkan oleh mitokondria (Fujaya 2002: 160, 164 & 166).

3.2.2. Kualitas spermatozoa

Kualitas spermatozoa dapat ditentukan dari beberapa parameter, tetapi yang umumnya digunakan adalah motilitas, viabilitas, dan abnormalitas. Penentuan motilitas spermatozoa dapat dilakukan dengan menggunakan tiga metode, yaitu metode subjektif, semi-kuantitatif, dan kuantitatif dengan bantuan komputer. Metode subjektif dilakukan dengan cara menghitung persentase spermatozoa yang bergerak, menentukan lama total pergerakan spermatozoa, atau kombinasi dari keduanya. Metode semi-kuantitatif dilakukan dengan cara menganalisa motilitas spermatozoa melalui rekaman video. Metode semi-kuantitatif memerlukan waktu pengamatan yang lebih lama dibandingkan metode subjektif. Adapun metode kuantitatif dilakukan dengan menggunakan bantuan Computer-Aided Sperm Analysis (CASA). Penggunaan sistem CASA lebih cepat dan efektif dibandingkan metode lainnya, tetapi biaya yang diperlukan juga lebih mahal (Rurangwa dkk. 2004: 4 & 9--11).

Parameter kualitas spermatozoa lainnya adalah viabilitas. Viabilitas spermatozoa dapat didefinisikan sebagai kemampuan hidup spermatozoa. Parameter viabilitas ditentukan dengan menghitung persentase spermatozoa yang masih hidup. Viabilitas spermatozoa dapat dihitung dengan menggunakan bantuan pewarnaan diferensial ((Rurangwa dkk. 2004: 7). Salah satu pewarna yang dapat digunakan adalah eosin. Eosin merupakan zat pewarna yang bersifat asam. Eosin dapat digunakan untuk membedakan spermatozoa yang masih hidup dan telah mati. Spermatozoa yang telah mati akan terwarnai oleh eosin, sedangkan sel yang masih hidup tidak akan terwarnai (Arifiantini dkk. 2005: 370).

Abnormalitas spermatozoa juga merupakan salah satu parameter kualitas spermatozoa. Abnormalitas spermatozoa dapat terjadi pada bagian kepala dan ekor. Abnormalitas spermatozoa meliputi ukuran kepala yang terlampau besar (macrocephalic), kepala berukuran sangat kecil (microcephalic), kepala pendek dan melebar, kepala pipih memanjang, kepala ganda, ekor ganda, ekor melipat dan membengkok, ekor putus, serta ekor yang pendek. Nilai abnormalitas yang kurang dari 20% menunjukkan bahwa kualitas semen (spermatozoa) dalam kondisi baik (Mozes 1981: 113).

3.2.3. Sel telur

Sel telur merupakan alat perkembangbiakan pada hewan betina, yang dihasilkan oleh suatu organ reprodukasi yang disebut ovarium. Sel telur berukuran lebih besar dan lebih sederhana dibandingkan sperma. Ukuran sel telur bervariasi pada setiap spesies. Ukuran sel telur yang bervariasi dikarenakan adanya kandungan kuning telur yang merupakan penyedia cadangan makanan bagi perkembangan embrio. Sel telur juga memiliki nukleus yang membawa setengah bagian informasi yang diperlukan dalam reproduksi. Ukuran sel telur yang lebih besar dibandingkan sperma menyebabkan produksi sel telur tidak sebanyak sperma (Billiet & Burchill 2010: 1). Ukuran sel telur pada ikan bervariasi, yaitu antara 0,5--5 mm, tergantung pada kandungan kuning telur dan fekunditasnya. Fekunditas pada setiap individu berbeda, tergantung pada usia, ukuran, spesies, dan kondisi lingkungan, seperti pakan, suhu air, dan musim. Ukuran dan jumlah telur yang dihasilkan juga berkaitan dengan kemampuan merawat telur dan anak. Ikan yang memiliki telur-telur berukuran kecil biasanya mempunyai jumlah telur yang banyak (Fujaya 2002: 164). Kemampuan fertilisasi sel telur terbatas pada periode tertentu, yaitu beberapa detik atau menit setelah pemijahan, dan menjadi tidak mungkin setelah sel telur diaktivasi (Jamieson 1991: 251). Oleh karena itu, proses fertilisasi harus sesegera mungkin dilakukan setelah sel telur dikeluarkan.

3.3. Kriopreservasi spermatozoa

3.3.1. Definisi kriopreservasi

Kriopreservasi merupakan suatu metode pengawetan milt. Metode kriopreservasi telah banyak diaplikasikan pada berbagai macam materi hidup, termasuk spermatozoa ikan. Penggunaan metode tersebut dapat memberikan banyak manfaat, di antaranya meningkatkan jumlah keturunan dari jantan yang berkualitas sangat baik, memberikan persediaan gamet jantan setiap waktu, sebagai perlindungan terhadap persediaan spermatozoa dari berbagai kejadian, seperti penyakit, bencana alam, atau kejadian lainnya, juga meningkatkan selective breeding dengan cara memelihara persediaan yang ada secara lebih ekonomis dan efektif, serta dapat digunakan sebagai bahan percobaan untuk studi selanjutnya (misalnya, transfer gen) (Akcay dkk. 2004: 837--838; Muchlisin 2005: 12).

Prinsip krioprservasi adalah mengatur perpindahan air keluar masuk sel melalui proses dehidrasi dan rehidrasi. Dehidrasi merupakan proses pengeluaran molekul air dari dalam sel, sedangkan rehidrasi adalah proses pemasukan kembali molekul air ke dalam sel. Proses dehidrasi yang terjadi pada sel dapat menyebabkan kerusakan sel akibat sel mengalami kekeringan. Meski demikian, proses dehidrasi tetap diperlukan karena ketiadaan dehidrasi dapat menyebabkan pembentukan kristal es yang dapat merusak sel. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan melakukan proses rehidrasi sebagai penyeimbang. Dehidrasi pada proses kriopreservasi terjadi pada saat ekuilibrasi dan pembekuan, sedangkan rehidrasi terjadi pada saat pencairan (Simione 2003: 1; Tambing 2007: 1). Rehidrasi pada saat pencairan terjadi akibat kristal-kristal es ekstraseluler mencair, sehingga cairan ekstraseluler bersifat hipotonis terhadap cairan intraseluler, dan akan masuk ke dalam sel. Peristiwa tersebut dapat terjadi pada saat laju pencairan cepat (Jamieson 1991: 235).

3.3.2. Faktor-faktor yang memengaruhi kriopreservasi spermatozoa

Faktor-faktor yang dapat memengaruhi keberhasilan kriopreservasi spermatozoa, di antaranya metode pengambilan semen (spermatozoa), pengencer, rasio pengenceran, bentuk kemasan, kondisi ekuilibrasi, laju pembekuan (freezing rate), laju pencairan (thawing rate), dan kondisi fertilisasi (Billiard dkk. 1995: 26; Kopeika dkk. 2005: 203).

3.3.2.1. Metode pengambilan semen

Sampel semen yang akan digunakan dapat diambil melalui dua cara, yaitu pengurutan (stripping) dan pembedahan. Metode pengurutan dilakukan dengan cara menekan bagian abdomen hewan uji coba ke arah lubang urogenital, sehingga semen dapat diambil (Lahnsteiner dkk. 2002: 196). Semen yang keluar ditampung dalam wadah berupa tabung, syringe, atau gelas Beaker. Semen yang diambil dengan metode pengurutan biasanya akan terkontaminasi dengan air, lender, urin, dan feses. Pembersihan bagian luar lubang urogenital dengan menggunakan tisu dapat mengurangi kontaminasi. Perbedaan metode pengurutan dengan pembedahan, yaitu tidak perlu mengorbankan hewan percobaan untuk mendapatkan sampel (Sukumasavin 2008: 158). Metode pembedahan dilakukan dengan cara membedah tubuh hewan dan mengambil semen dari bagian testisnya. Metode pembedahan biasanya dilakukan apabila semen yang diinginkan sulit diperoleh melalui pengurutan. Metode pembedahan umumnya dilakukan pada spesies ikan dari family Clariidae (Muchlisin dkk. 2004: 27).

3.3.2.2. Pengencer

Pengencer merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan kriopreservasi. Pengencer terdiri atas ekstender dan krioprotektan (intraseluler dan ekstraseluler/ko-krioprotektan). Ekstender merupakan medium yang digunakan dalam pengenceran spermatozoa dan bertujuan untuk meningkatkan jumlah spermatozoa yang diencerkan untuk digunakan dalam perkawinan secara buatan (Muchlisin 2005: 13). Ekstender tidak menginduksi motilitas spermatozoa, tetapi tetap mempertahankan viabilitasnya selama kriopreservasi (Routray dkk. 2007: 11). Jenis ekstender yang biasa digunakan, di antaranya larutan fisiologis, larutan Ringer, dan larutan salin.

Krioprotektan berfungsi untuk melindungi sel dari kerusakan selama proses pembekuan dan pencairan. Terdapat dua kelompok krioprotektan, yaitu krioprotektan intraseluler (permeating cryoprotectant) yang dapat menembus membran sel dan krioprotektan ekstraseluler (nonpermeating cryoprotectant) yang tidak mampu menembus ke dalam sel. Krioprotektan intraseluler meliputi DMSO, gliserol, MeOH 1,2 propanedio, dan etilen glikol, sedangkan contoh krioprotektan ekstraseluler, yaitu gula (sukrosa), polimer, pati, PVP, protein (kuning telur, susu skim) (Singsee dkk. 2005: 207).

3.3.2.3. Rasio pengenceran

Rasio pengenceran yang digunakan dalam krioprotektan berperan penting dalam proses kriopreservasi. Semen yang memiliki konsentrasi spermatozoa tinggi memerlukan rasio pengenceran yang lebih besar dibandingkan semen dengan konsentrasi yang rendah. Rasio pengenceran dapat bervariasi pada tiap spesies, bahkan di antara individu (Kopeika dkk. 2005: 212). Menurut Jamieson (1991: 264), umumnya rasio pengenceran yang digunakan adalah 1:3 hingga 1:4 (semen : ekstender).

Rasio pengenceran dalam larutan yang digunakan untuk fertilisasi buatan juga berperan penting dalam keberhasilan fertilisasi. Rasio pengenceran yang melebihi 1:10 (semen : telur) dapat menurunkan tingkat fertilitas ikan. Rasio pengenceran sebesar 1:1 pada fertilisasi ikan mas memberikan persentase fertilitas sebesar 70% pada tahap eyed stage. Penggunaan rasio 1:100 menyebabkan hanya beberapa telur yang berhasil mencapai eyed stage (Jamieson 1991: 268--269).

3.3.2.4. Bentuk kemasan

Kemasan yang digunakan dalam kriopreservasi terbuat dari bahan plastik atau gelas dikarenakan memiliki nilai toleransi yang sangat tinggi terhadap suhu yang sangat rendah (Sukumasavin 2008: 156). Bentuk kemasan yang umumnya digunakan dalam kriopreservasi, di antaranya pelet, ampul (0,25 ml), straw (0,25 dan 0,5 ml), minitube (0,25; 0,3; dan 0,5 ml), macrotube (5 ml), dan plitplat (5 ml) (Arifiantini & Yusuf 2004: 2). Kemasan berbentuk cryotube paling mudah digunakan dalam kriopreservasi. Hal tersebut dikarenakan cryotube tidak memerlukan tempat penyimpanan yang luas, laju pendinginan yang terjadi dapat terkontrol dan pengemasannya lebih praktis karena terbuat dari bahan plastik dengan tutup berulir (Simione 2003: 7--8).

3.3.2.5. Kondisi ekuilibrasi

Ekuilibrasi merupakan periode adaptasi spermatozoa terhadap perubahan osmotik yang terjadi akibat penambahan larutan pengencer dan perubahan suhu sebelum pembekuan. Penggunaan krioprotektan memengaruhi waktu ekuilibrasi yang diperlukan. Semakin cepat waktu yang diperlukan krioprotektan untuk masuk ke dalam sel, maka semakin cepat waktu ekuilibrasi yang diperlukan (Routray dkk. 2007: 13). Proses ekuilibrasi terkadang tidak perlu dilakukan pada beberapa jenis krioprotektan. Penelitian Horvath dkk. (2007) menunjukkan bahwa proses ekuilibrasi tidak perlu dilakukan pada penggunaan metanol 10%, dikarenakan daya racunnya terhadap spermatozoa cukup tinggi (lihat Sunarma 2007: 45).

3.3.2.6. Laju pembekuan (freezing rate) dan pencairan (thawing rate)

Laju pembekuan merupakan kecepatan air untuk keluar dari dalam sel ketika terjadi peningkatan konsentrasi larutan ekstraseluler pada saat pembekuan. Laju pembekuan dapat dibedakan menjadi laju pembekuan cepat dan lambat. Laju pembekuan cepat terjadi apabila penurunan suhu sebesar -10° C, sedangkan laju pembekuan lambat terjadi jika penurunan suhu sebesar -2° C (Viveiros dkk. 2000: 1399 & 1406). Penggunaan laju pembekuan cepat dapat mengurangi dehidrasi sel, tetapi dapat meningkatkan pembentukan kristal es intraseluler. Laju pembekuan lambat dapat mengurangi pembentukan kristal es intraseluler, tetapi meningkatkan konsentrasi elektrolit sehingga dapat menyebabkan dehidrasi sel (Li Jun dkk. 2006: 370).

Pencairan merupakan proses pencairan kembali sampel semen yang telah dibekukan. Kondisi pencairan harus dibuat optimal untuk mencegah terjadinya rekristalisasi (pembentukan kembali kristal es). Spesies ikan family Cyprinidae umumnya menggunakan laju pencairan cepat. Laju pencairan lambat tidak digunakan karena dapat menyebabkan rekristalisasi yang dapat merusak sel (Routray dkk. 2007: 13). Waktu yang diperlukan dalam proses pencairan dapat berbeda pada tiap jenis kemasan yang digunakan. Kemasan plastik memerlukan waktu pencairan yang lebih lama dibandingkan kemasan yang terbuat dari kaca (Simione 2003: 7--8).

3.3.3. Faktor-faktor yang dapat menyebakan kerusakan sel selama kriopreservasi

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan sel (cryoinjury) selama proses kriopreservasi, di antaranya kejutan dingin, pH, pembentukan kristal es intraseluler dan ekstraseluler, pengaruh zat terlarut, pengaruh volume, dan toksisitas krioprotektan yang digunakan.

3.3.3.1. Kejutan dingin (cold shock)

Kejutan dingin dapat terjadi akibat perubahan suhu yang ekstrem rendah. Kejutan dingin terjadi akibat adanya perubahan fosfolipid membran sel dari fase cair ke fase padat. Kejutan dingin dapat menyebabkan spermatozoa mengalami penurunan aktivitas flagela dan kerusakan membran sel. Kejutan dingin umumnya terjadi apabila digunakan laju pembekuan cepat (Jamieson 1991: 236).

3.3.3.2. Pengaruh derajat keasaman (pH)

Perbedaan nilai pH dalam larutan ekstender yang digunakan dapat memengaruhi motilitas spermatozoa. Penelitian Muchlisin dkk. (2004) menunjukkan bahwa motilitas spermatozoa tertinggi terjadi dalam larutan Ringer (pH 7,9) yang memiliki nilai pH serupa dengan plasma semen pada spesies tropical bagrid catfish (8,0). Hal tersebut mengindikasikan bahwa motilitas tertinggi spermatozoa yang dibekukan, yaitu pada larutan yang memiliki nilai pH mirip dengan plasma semen. Beberapa spesies juga menunjukkan bahwa pH berperan dalam pengaturan pergerakan flagela.

3.3.3.3. Pembentukan kristal es intraseluler dan ekstraseluler

Menurut Watson (2000), pembentukan kristal es selama proses kriopreservasi sel spermatozoa menyebabkan terjadinya penumpukan elektrolit di dalam sel. Hal tersebut mengakibatkan terjadi kerusakan sel secara mekanik. Elektrolit yang menumpuk akan merusak dinding sel sehingga pada waktu pencairan kembali, permeabilitas membran plasma akan menurun dan sel akan mati. Pembentukan kristal es kemungkinan berkaitan dengan perubahan tekanan osmotik dalam fraksi yang tidak mengalami pembekuan (lihat Gazali & Tambing 2001: 28).

Pembentukan kristal es ekstraseluler biasanya terjadi apabila menggunakan laju pembekuan lambat. Kristal es ektraseluler yang terbentuk dapat menyebabkan terjadinya kerusakan membran sel. Kristal es ektraseluler juga dapat menyebakan dehidrasi sel akibat perbedaan konsentrasi sel, sehingga cairan intrasel tertarik ke luar (Jamieson 1991: 237).

3.3.3.4. Pengaruh zat terlarut

Selama proses pembekuan, baik cairan intraseluler maupun ekstraseluler akan bersifat lebih pekat (konsentrat). Penggunaan laju pembekuan cepat ataupun lambat akan menghasilkan konsentrasi akhir yang sama. Namun demikian, pemberian larutan berkonsentrasi tinggi pada saat menggunakan laju pembekuan lambat akan menyebabkan terjadinya kerusakan membran sel. Kerusakan tersebut dapat terjadi akibat pengaruh denaturasi garam-garam elektrolit dalam lipoprotein membran ataupun akibat pengaruh tekanan osmotik dalam membran sel (Jamieson 1991: 237).

3.3.3.5. Pengaruh volume

Stress yang terjadi pada membran sel dapat disebabkan oleh reduksi volume ataupun pengaruh tekanan osmotik dari larutan konsentrat. Perubahan volume sel dapat menyebabkan terjadinya kerusakan sel. Meskipun sel memiliki toleransi terhadap perubahan volume, tetapi toleransi tersebut bersifat terbatas. Perubahan volume sel dapat disebabkan hiperosmositas akibat pembentukan kristal es ekstraseluler. Volume sel juga dapat berubah akibat penambahan dan pengurangan krioprotektan (Jamieson 1991: 237--239).

3.3.3.6. Toksisitas krioprotektan

Penggunaan krioprotektan yang tepat dapat menekan timbulnya kerusakan sel, tetapi penggunaan dengan konsentrasi tinggi merupakan racun bagi material biologis. Pengaruh krioprotektan berkonsentrasi tinggi menjadi lebih berbahaya dibandingkan dengan fungsi perlindungannya. Kerusakan sel akibat penggunaan konsentrasi krioprotektan yang tidak tepat telah banyak terjadi. Penggunaan campuran DMSO dan polietilen glikol dapat menginduksi penyatuan membran, sedangkan penggunaan metanol yang dibekukan dalam suhu di bawah 30° C menyebabkan kegagalan pemulihan jantung (Jamieson 1991: 239).

4. Metanol dan susu skim

4.1. Metanol

Metanol merupakan suatu larutan tidak berwarna yang mudah terbakar dengan bau yang cukup tajam, mirip dengan etil alkohol. Metanol bersifat dapat larut dalam air (Terra 2001: 1). Rumus kimia metanol adalah CH3OH. Metanol memiliki berat molekul sebesar 32,04 g/mol. Titik didih metanol sebesar 64,7° C dan titik lelehnya sebesar -97° C (McGuigan 2003: 3). Metanol memiliki ukuran molekul yang relatif kecil. Oleh karena itu, metanol dapat menembus membran sel. Sifatnya yang demikian menyebabkan metanol digolongkan ke dalam kelompok krioprotektan intraseluler (Singsee dkk. 2005: 207). Metanol berkonsentrasi rendah (1,5 M) lebih efektif digunakan dalam kriopreservasi yang bersuhu di atas 0° C, sedangkan metanol berkonsentrasi tinggi (2,5 M) efektif digunakan pada suhu di bawah 0° C (Ahammad dkk. 2002: 114--115).

4.2. Susu skim

Susu skim merupakan jenis susu yang memiliki kandungan lemak yang sangat rendah, yaitu hanya 0,1--0,3% . Susu skim diproses dengan cara menghilangkan sebagian besar lemaknya (The Dairy Council 2010: 1). Komposisi nutrisi yang terkandung dalam susu skim, yaitu lemak (< style="mso-spacerun:yes"> Kadar kalsium pada susu skim lebih banyak dibandingkan susu biasa. Hal tersebut dikarenakan dalam proses pembuatan susu skim, beberapa nutrisi terkadang ditambahkan ke dalamnya, di antaranya beberapa vitamin (vitamin A dan D), fosfor, magnesium, dan sebagainya (Rajeev 2010: 1 & 2).

Susu skim digunakan dalam kriopreservasi karena dapat melindungi sel spermatozoa dari kerusakan sel selama proses kriopreservasi (Singsee dkk. 2005: 207). Penelitian Nai-Hsien Chao dkk. (1987) menunjukkan bahwa penggunaan susu skim pada kriopreservasi spermatozoa ikan tilapia dapat mempertahankan motilitas hingga 80%. Zuraida (2009) dan Anindita (2010) juga menunjukkan bahwa penggunaan susu skim dapat memberikan perlindungan yang cukup efektif dalam kriopreservasi spermatozoa ikan dibandingkan tanpa menggunakan susu skim.

5. Fertilisasi ikan tawes

Fertilisasi dapat didukung oleh kualitas spermatozoa yang baik. Penggunaan larutan fisiologis yang baik dapat meningkatkan daya motilitas dan viabilitas spermatozoa (Hidayaturrahmah 2007: 10). Menurut Rurangwa dkk. (1998), fertilisasi telur dengan menggunakan spermatozoa hasil kriopreservasi dilakukan segera setelah proses pencairan dengan rasio spermatozoa : telur yang tepat. Rasio perbandingan yang terlalu tinggi ataupun terlalu rendah dapat memengaruhi keberhasilan tingkat fertilisasi dan penetasan telur (lihat Sunarma 2007: 26). Tingkat fertilisasi tertinggi pada ikan family Cyprinidae diperoleh dengan menggunakan rasio spermatozoa : telur sebesar (1,3--2,5) x 106:1 (Lahnsteiner dkk. 2003), sedangkan pada ikan lele Afrika tingkat penetasan tertinggi didapat setelah spermatozoa pascakriopreservasi diencerkan dengan larutan ekstender pada perbandingan 1:200 (Viveiros dkk. 2000). Rasio spermatozoa : telur pada fertilisasi yang menggunakan spermatozoa hasil kriopreservasi biasanya lebih rendah dbandingkan dengan mnggunakan spermatozoa segar akibat adanya penurunan kemampuan spermatozoa. Penurunan tersebut terjadi akibat adanya kerusakan pada genom spermatozoa yang mungkin terjadi pada saat proses kriopreservasi (Sunarma 2007: 26).

4. KERANGKA KONSEP

Penelitian fertilisasi sperma ikan tawes pascakriopreservasi selama satu hari menggunakan campuran metnol dan susu skim dilakukan dengan cara menganalisis kualitas sperma sebelum dan setelah kriopreservasi, serta tingkat keberhasilan fertilisasi sperma setelah kriopreservasi. Penelitian tersebut menggunakan induk jantan dan betina ikan tawes yang telah mengalami kematangan gonad. Perlakuan yang diberikan sejumlah enam kali dengan ulangan sebanyak empat kali. Perlakuan yang diberikan berupa fertilisasi sperma segar (sebelum kriopreservasi) dan fertilisasi sperma setelah kriopreservasi yang menggunakan campuran 5% metanol dan susu skim dengan konsentrasi 18%, 19%, 20%, 21%, dan 22%. Parameter yang diukur, yaitu motilitas spermatozoa dan persentase fertilisasi (jumlah sel telur yang berhasil dibuahi) sebelum dan setelah kriopreservasi. Data yang didapatkan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 15 for windows. Data tersebut diuji normalitasnya menggunakan Shapiro dan Wilk, kemudian diuji homogenitasnya menggunakan uji Levene. Data yang berdistribusi normal dan bervariansi homogen, kemudian diuji dengan uji Analisis Varians (ANAVA) faktor tunggal. Data tersebut kemudian diuji kembali dengan uji perbandingan berganda Tukey bila terdapat perbedaan. Data yang tidak normal dan homogen selanjutnya dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis dan dilanjutkan dengan uji Dunnet untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Adapun skema kerja penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:

Rounded Rectangle: Pembekuan pada suhu -34° C selama satu hariRounded Rectangle: Ekuilibrasi pada suhu 4° C selama 20 menit 80%, maka dapat dilakukan kriopreservasi) " v:shapes="_x0000_s1030">Rounded Rectangle: inkubasi beberapa jam, lalu diamatiRounded Rectangle: Semen diberikan 6 perlakuan: 1.  Semen segar (K) 2.  Semen dengan 5% metanol metanol + 18% susu skim (SS18) 3.  Semen dengan 5% metanol + 19% susu skim (SS19) 4.  Semen dengan 5% metanol + 20% susu skim (SS20) 5.  Semen dengan 5% metanol + 21% susu skim (SS21) 6.  Semen dengan 5% metanol + 22% susu skim (SS22)Rounded Rectangle: Fertilisasi dalam cawan petri berisi larutan NaCl 0,9%Rounded Rectangle: Pencairan pada suhu 40° C selama 15 detikRounded Rectangle: Induk betina disuntik dengan ovaprim, tetapi tidak pada induk jantanRounded Rectangle: Semen dan ovum diambil dengan cara pengurutan (ovum diambil setelah 8 jam penyuntikan)

5. METODOLOGI PENELITIAN

5.1. Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian fertilisasi sperma ikan tawes pascakriopreservasi dilakukan di dua lokasi, yaitu Laboratorium Genetika dan rumah kaca, Biologi FMIPA-UI. Penelitian berlangsung selama lima bulan, terhitung sejak Juli 2010 hingga November 2010.

5.2. Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian, di antaranya kolam pemeliharaan yang terbuat dari semen (2 x 2 x ½) m3, bak plastik [Lion Star], aerator, filter, selang, infus pengatur tekanan udara, pompa air rendam, kabel rol, jaring, kawat, disposable syringe tanpa jarum 22 G x 1½(5ml) [Terumo], tabung mikrofus 1,7ml [Sorenson],kamar hitung Improved Neubauer [Assistent], hand counter [Joy-Art],kaca objek [Sail], kaca penutup [Sail],pipet mikro (5-10 µl, 10-100 µl, & 100-1000 µl [Eppendorf], tips [Fisher], mikroskop trinokuler [Boeco], mikroskop cahaya [Boeco], kamera (digital eye piece) [MDCE-5a], image driving software [ScopoPhoto 2.0.4], komputer, stopwatch [Sport Timer GT-28], cryotube 2ml [Sorenson], deep frezer [Daiichi DCF-126], lemari es [Bauknecht], waterbath [PS Thelco], timbangan analitik [Sartorius A200S], timbangan kasar [Five Goats], pengukur pH [Consort Multiparameter Analyzer], termometer, marker pen [Faber Castell], bejana gelas 250ml [Pyrex], tabung ukur 100ml [Pyrex], batang pengaduk, kompor listrik, kuas, cawan petri, bulu ayam, software perhitungan statistic [Statistical Product and Service Solution (SPSS) 13.0 for Windows], dan software tabulasi data [Microsoft Office Excel].

5.3. Bahan

5.3.1. Objek penelitian

Objek penelitian yang digunakan adalah ikan tawes jantan dan betina yang telah mengalami kematangan gonad. Ikan tawes jantan dan betina yang digunakan dalam penelitian masing-masing sejumlah 35 ekor dan 7 ekor.

5.3.2. Pemeliharaan ikan tawes

Ikan tawes yang digunakan selama penelitian dipelihara dalam kolam semen yang dibedakan antara induk jantan dan betina. Pemeliharaan dilakukan di dalam rumah kaca Departemen Biologi, FMIPA UI. Ikan tawes tersebut diberikan pakan alami dan buatan. Pakan alami yang diberikan, yaitu Hydrilla verticilata (L.f) Royle, dan daun sente (Colocasia esculenta, Schott 1832). Pakan buatannya berupa pelet apung [Ransum-SP RNLa b4].

5.3.3. Penimbangan bobot ikan

Bobot ikan ditimbang dengan menggunakan timbangan kasar.

5.3.4. Bahan kimia

Bahan-bahan kimia yang digunakan, di antaranya metanol [Merck], larutan ekstender fish ringer (NaCl [Merck], KCl [Merck], CaCl2.2H2O [Merck], NaHCO3 [Merck]), larutan stok Giemsa [Merck], larutan aktivator sperma (NaCl 45 mM [Merck], KCl 5 mM [Merck], Tris 30 mM (pH 8,0) [Promega]), larutan 0,15 M dapar fosfat 6,8 (5,34 g Na2HPO4.2H2O [Merck], 4,08 g KH2PO4 [Merck], eosin-Y [Merck], vitamin ikan, oxytetracycline, metilen biru (obat anti jamur), akuades steril [IKA], alkohol 70% [IKA], aluminium foil [Klin Pak], kertas label [Tom & Jerry], kertas saring, tisu [Tessa], nitrit (NO2) analitik [Sera], antiseptik [Betadine], kertas pH skala 5--10 [ART 9531 Merck], dan susu skim cair [Diamond].

5.4. Cara kerja

5.4.1. Rancangan penelitian

Penelitian yang dilakukan bersifat eksperimental. Fertilisasi spermatozoa ikan tawes dilakukan dengan cara mencampurkan telur ke dalam cawan petri steril yang telah berisi spermatozoa (segar dan hasil kriopreservasi) dan larutan NaCl 0,9%. Perlakuan yang diberikan terhadap spermatozoa ikan tawes yang dikriopreservasi, yaitu dengan menambahkan campuran krioprotektan berupa 5% metanol dan berbagai konsentrasi susu skim (5%, 10%, 15%, 20%, dan 25%). Keseluruhan jumlah perlakuan adalah 6 perlakuan, dengan pengulangan yang dilakukan sebanyak lima kali. Hal tersebut didasarkan pada rumus Frederer, yaitu (t-1) (r-1) ≥ 15, dengan t adalah jumlah perlakuan dan r adalah jumlah ulangan (Hanafiah 2004: 12).

5.4.2. Aklimatisasi ikan

Ikan diaklimatisasi dalam kolam pemeliharaan selama satu minggu sebelum diberikan perlakuan. Hal tersebut bertujuan untuk mengadaptasikan ikan terhadap lingkungan yang baru.

5.4.3. Pembuatan larutan yang digunakan dalam kriopreservasi dan fertilisasi

5.4.3.1. Larutan ekstender fish Ringer

Pembuatan fish Ringer sesuai dengan metode Ginsburg. Larutan tersebut dibuat dengan cara melarutkan 3,25 g NaCl; 0,125 g KCl; 0,175 g CaCl2.2H2O; 0,1 g NaHCO3 dengan akuades hingga volumenya 500 ml. Lama penyimpanan larutan tersebut maksimal 3 hari pada suhu 4 °C (Draper & Moens 2009: 1).

5.4.3.2. Larutan aktivator

Pembuatan larutan aktivator dilakukan dengan cara melarutkan 45 mM NaCl (0,26 g NaCl, berat molekul 58 g/mol), 5 mM KCl (0,037 g KCl, berat molekul 74,5 g/mol), dan 30 mM Tris (0,36 g C4H11NO3, berat molekul 121 g/mol) dalam 100 ml akuades (Sunarma 2007: 33).

5.4.3.3. Larutan eosin-Y 0,5%

Larutan eosin-Y 0,5% dibuat dengan cara melarutkan eosin-Y sebanyak 0,5 g ke dalam akuades hingga volumenya 100 ml (WHO 1988: 36).

5.4.3.4. Larutan 0,15 M dapar fosfat pH 6,8

Larutan 0,15 M dapar fosfat pH 6,8 dibuat dengan cara menyiapkan terlebih dahulu dua macam larutan, yaitu larutan Na2HPO4.2H2O dan larutan KH2PO4. Larutan Na2HPO4.2H2O dibuat dengan cara melarutkan 5,34 g Na2HPO4.2H2O ke dalam akuades hingga volumenya 200 ml. Larutan KH2PO4 dibuat dengan cara melarutkan 4,08 g KH2PO4 ke dalam akuades hingga volumenya 200 ml. Larutan 0,15 M dapar fosfat pH 6,8 dapat dibuat dengan mencampurkan sedikit demi sedikit larutan Na2HPO4.2H2O ke dalam larutan KH2PO4 hingga pHnya mencapai 6,8 (WHO 1988: 38).

5.4.3.5. Larutan Giemsa

Pembuatan larutan Giemsa dilakukan dengan cara mencampur 1 bagian larutan stok Giemsa dan 10 bagian larutan 0,15 M dapar fosfat pH 6,8 yang selanjutnya disaring dengan kertas saring (WHO 1988: 38).

5.4.3.6. Larutan pengencer

Pengencer yang digunakan terdiri atas ekstender fish Ringer, metanol, dan susu skim. Pembuatan larutan tersebut dilakukan melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah mencampurkan fish Ringer dengan metanol sesuai komposisi yang telah ditentukan sebelumnya. Campuran tersebut dibuat dalam beberapa cryotube yang telah diberi label. Selanjutnya disimpan dalam lemari pendingin bersuhu 4° C. Tahap kedua adalah memanaskan susu skim yang akan digunakan. Pemanasan dilakukan dengan cara memasukkan susu skim dalam wadah yang terbuat dari gelas, lalu direndam dalam water bath berisi air panas (suhu 87--97° C) selama 1 menit. Susu skim tersebut kemudian didinginkan pada suhu kamar. Tahap ketiga adalah dengan mencampurkan susu skim yang telah dipanaskan sebelumnya ke dalam campuran fish Ringer dan metanol. Campuran dihomogenkan dengan cara mengeluarkan dan menghisap campuran sebanyak 10 kali dengan menggunakan pipet mikro. Komposisi dari larutan pengencer yang digunakan adalah sebagai berikut:

Perlakuan

Larutan pengencer

Semen (µl)

fish Ringer (µl)

Metanol 5% (µl)

Susu skim (µl)

Kontrol

-

-

-

30

Susu skim 18%

201

15

54

30

Susu skim 19%

198

15

57

30

Susu skim 20%

195

15

60

30

Susu skim 22%

192

15

63

30

Susu skim 22%

189

15

66

30

5.4.3.7. Larutan NaCl 0,9%

Pembuatan larutan NaCl 0,9% dilakukan dengan cara melarutkan 0,9 g NaCl ke dalam akuades hingga volumenya 100 ml.

5.4.4. Pengoleksian semen

Semen yang akan digunakan diperoleh dengan cara pengurutan pada bagian abdomen. Bagian abdomen dan urogenital terlebih dahulu dibersihkan dengan kertas tisu sebelum dilakukan pengurutan. Tujuannya untuk mencegah kontaminasi semen dari urin, lender, dan feses. Semen yang keluar dihisap dengan menggunakan disposable syringe 22 Gx 1½” tanpa jarum. Semen tersebut ditampung dalam mikrofus untuk dilakukan analisis segar dan fertilisasi segar. Semen yang akan digunakan, yaitu sebanyak 50 µl untuk tiap perlakuan. Semen tersebut didapatkan dengan cara menggabungkan semen yang didapat dari 2--3 individu.

5.4.5. Pengoleksian telur

Induk betina yang akan diambil telurnya, disuntik terlebih dahulu dengan Ovaprim dengan dosis sebesar 0,35 ml/kg berat badan. Penyuntikan dilakukan secara intramuskular, yaitu antara bagian dasar sirip dorsal dan garis lateral. Penyuntikan dilakukan sebanyak dua kali dengan jeda waktu 6 jam. Pemijahan pada ikan tawes biasanya terjadi pada pukul 19.00--20.00. Apabila tampak adanya tanda-tanda pemijahan (pengeluaran telur), sesegera mungkin induk betina diambil dan telurnya dikoleksi. Telur yang berhasil dikoleksi ditampung dalam wadah plastik yang kering (tanpa pemberian air).

5.4.6. Tahapan dalam kriopreservasi

Sampel yang akan dilakukan kriopreservasi melalui beberapa tahap perlakuan, yaitu ekuilibrasi, pembekuan, dan pencairan. Ekuilibrasi perlu dilakukan sebelum pembekuan guna mengadaptasikan spermatozoa. Ekuilibrasi dilakukan pada semen yang telah diencerkan dan disimpan di dalam lemari pendingin (suhu 4--5° C). Lama ekuilibrasi adalah 20 menit (Sunarma 2007: 35).

Pembekuan dilakukan dengan cara menyimpan cryotube berisi semen di dalam deep freezer pada suhu -34° C selama satu hari (Changjiang Huang dkk. 2004: 295). Proses pencairan dilakukan setelah satu hari. Pengerjaannya dilakukan dengan cara merendam setengah bagian cryotube berisi semen ke dalam water bath pada suhu 40° C selama 15 detik (Horvath dkk. 2003: 458).

5.4.7. Analisa spermatozoa

Sampel semen dianalisa sebanyak dua kali, yaitu sebelum dan setelah kriopreservasi. Analisa sebelum kriopreservasi (analisa segar) meliputi analisa makroskopik dan mikroskopik. Analisa makroskopik yang dilakukan meliputi volume, pH, dan warna semen, sedangkan analisa mikroskopik berupa persentase motilitas. Analisa setelah kriopreservasi meliputi analisa mikroskopik, yaitu persentase motilitas, viabilitas, dan abnormalitas. Analisa mikroskopik menggunakan bantuan mikroskop trinokuler [Boeco] dan kamera digital eye piece [MDCE-5a] yang terhubung dengan laptop, serta dilengkapi image driving software [Scopephoto 2.0.4].

5.4.7.1. Analisa volume, pH, dan warna semen

Volume semen diukur dengan memasukkan sampel semen ke dalam cryotube berskala ukur, sedangkan warna semen diamati secara fisik. Derajat keasaamn (pH) ditentukan dengan menggunakan kertas pH berskala, yang selanjutnya dicocokkan dengan warna standar pH yang terdapat pada kemasan .

5.4.7.2. Penghitungan persentase motilitas spermatozoa

Pengenceran semen yang akan digunakan untuk penghitungan motilitas spermatozoa segar dilakukan dengan menggunakan rasio 1:49 (semen : larutan aktivator) (Sunarma 2007: 36). Penghitungan motilitas spermatozoa pascakriopreservasi dilakukan dengan menggunakan rasio pengenceran yang sama, yaitu 50 kali. Sebanyak 10 µl semen hasil pengenceran 10 kali (pengenceran untuk kriopreservasi) dicampurkan ke dalam 40 µl larutan aktivator. Semen yang telah diencerkan diteteskan pada kamar hitung improved Neubaeur dan diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 40. Pengamatan dilakukan dengan bantuan kamera video. Pengamatan hanya dilakukan pada satu daerah R yang terdapat pada kamar hitung improved Neubaeur. Penghitungan dilakukan dengan cara menghitung jumlah spermatozoa yang tidak bergerak (imotil) dan spermatozoa total. Rumus penghitungan persentase motilitas sebagai berikut:

∑ spermatozoa total - ∑ spermatozoa imotil

% motilitas = x 100% (5.1)

∑ spermatozoa total

5.4.7.3. Penghitungan persentase viabilitas spermatozoa

Penghitungan viabilitas spermatozoa dilakukan berdasarkan metode Salisbury & VanDemark (1985: 466). Sebanyak 10 µl semen hasil pengenceran 50 kali diteteskan di atas kaca objek dan dicampur dengan 10 µl larutan eosin-Y 0,5%, lalu ditutup dengan kaca penutup. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 40. Spermatozoa hidup tidak akan terwarnai oleh larutan eosin-Y 0,5%, sedangkan spermatozoa yang mati akan tampak berwarna merah karena telah terwarnai. Spermaozoa yang diamati sebanyak 100 sel. Rumus penghitungan persentase viabilitas sebagai berikut:

∑ spermatozoa total - ∑ spermatozoa terwarnai eosin

% viabilitas = x 100% (5.2)

∑ spermatozoa total

5.4.7.4. Penghitungan persentase abnormalitas spermatozoa

Penghitungan abnormalitas spermatozoa dilakukan berdasarkan metode Salisbury & VanDemark (1985: 488), yaitu dengan mengunakan preparat ulas. Sebanyak 10 µl semen hasil pengenceran 50 kali diteteskan di atas kaca objek dan dibuat preparat ulas. Selanjutnya, sediaan tersebut dikeringanginkan dan difiksasi dengan menggunakan metanol selama 3 menit. Sediaan diwarnai dengan melakukan perendaman dalam larutan Giemsa selama 30 menit, kemudian dicuci dengan air kran yang mengalir dan dikeringanginkan. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 40. Spermaozoa yang diamati sebanyak 100 sel. Rumus penghitungan persentase viabilitas sebagai berikut:

∑ spermatozoa abnormal

% viabilitas = x 100% (5.3)

∑ spermatozoa total

5.4.8. Fertilisasi buatan spermatozoa ikan tawes

Fertilisasi buatan dilakukan dengan beberapa tahapan. Pertama, sebanyak 20--30 telur dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah berisi 10 ml larutan NaCl 0,9%. Selanjutnya, sebanyak 100 µl spermatozoa segar dan pascakriopreservasi dimasukkan ke dalam cawan petri tersebut. Campuran tersebut diaduk perlahan dengan menggunakan bulu ayam steril selama 1 menit. Telur yang tampak terfertilisasi kemudian dibilas dengan hati-hati menggunakan air kran sebanyak 3--4 kali. Telur tersebut selanjutnya diinkubasi dan diamati banyaknya telur yang mulai mengalami pembelahan (modifikasi Rahman dkk. 2009).

6 ANGGARAN DANA DAN JADWAL PENELITIAN

Dana penelitian berasal dari hibah Riset Unggulan Universitas Indonesia (RUUI) dan dana pribadi.

No

Kegiatan

Juli

Agustus

September

Oktober

Nopember

1

Persiapan alat dan bahan

2

Aklimatisasi ikan (1 minggu)

3

Prapenelitian

4

Perlakuan (kontrol dan berbagai konsentrasi susu skim)

5

Pengolahan data

6

Penulisan

DAFTAR ACUAN

Ahammad, M.M., D. Bhattacharyya & B.B. Jana. 2002. The hatching of common carp (Cyprinus carpio L.) embryos in response to exposure to different concentrations of cryoprotectant at low temperatures. Cryobiology 44: 114--121.

Akcay, E., Y. Bozkurt, S. Secer & N. Tekun. 2004. Cryopreservation of mirror carp semen. Turkey Journal Vetenary Animal Science 28: 837--843.

Anindita, I. 2010. Pengaruh pemberian berbagai konsentrasi susu skim terhadap kualitas spermatozoa ikan gurami (Osphronemus gouramy, Lacepede 1801) dua hari pascakriopreservasi. Skripsi S1 - Biologi FMIPA UI, Depok: xv + 80 hlm.

Arifiantini, R.I. & T.L. Yusuf. 2004. Keberhasilan penggunaan tiga pengencer dalam dua jenis kemasan pada proses pembekuan semen sapi Frisien holstein. Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor: 11 hlm.

Arifiantini, R.I, T.L. Yusuf & O. Indah. 2005. Kaji banding dua teknik pengemasan menggunakan tiga macam pengencer untuk pembekuan semen sapi Friesian Holstein (FH). Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner: 366--376.

Billiard, R., J. Cosson, G. Perchec & O. Linhart. 1995. Biology of sperm and artificial reproduction in carp. Aquaculture 129: 95--112.

Billiet, P. & S. Burchill. 2010. Animal Reproduction. 2010: 1 hlm. http://www.saburchill.com/chapters/chap0031.html, 3 Juli 2010, pk. 10.10.

Bozkurt, Y., E. Akcay, N. Tekin & S. Secer. 2005. Effect of freezing techniques, extenders, and cryoprotectants on the fertilization rate of frozen rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) sperm. The Israeli Journal of Aquaculture - Bamidgeh 57: 1--6.

CAB International. 2006. Barbonymus gonionotus (Bleeker, 1850). 2006: 1 hlm. http://www.cabicompendium.org/NamesLists/AC/Full/PUNTGO.htm, 3 Juli 2010, pk. 10.10.

Changjiang Huang, Qiaoxiang Dong, R.B. Walter & T.R. Tiersch. 2004. Sperm cryopreservation of green swordtail Xiphophorus helleri, a fish internal fertilization. Cryobiology 48: 295--308.

Draper, B.W., & C.B. Moens. 2009. A high-throughtput method for zebrafish sperm cryopresevation and in vitro fertilization. Journal of Visualized Experiments 29: 1--3.

Fujaya, Y. 2002. Fisiologi ikan: Dasar pengembangan teknologi perikanan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta: vii + 204 hlm.

Gazali, M. & S.T. Tambing. 2001. Kriopreservasi Sel Spermatozoa. Hayati 9(1): 27--32.

Hanafiah, K.A. 2004. Rancangan percobaan: Teori dan aplikasi. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: xiv + 186 hlm.

Hidayaturrahmah. 2007. Waktu motilitas dan viabilitas spermatozoa ikan mas (Cyprinus carpio L.) pada beberapa konsentrasi larutan fruktosa. Bioscientiae 4(1): 9--18.

Horvath, A. & B. Urbanyi. 2000. The effect of cryoprotectant on the motility and fertilizing capacity of cryopreserved African catfish Clarias gariepinus (Burchell 1822) sperm. Aquculture Research 31: 317--324.

Horvath, A., E. Miskolczi & B. Urbanyi. 2003. Cryopreservation of common carp sperm. Aquatic Living Resources 16: 457--460.

Horvath, A. E. Miskolczi, S. Mihalffy, K. Psz, K. Szabo & B. Urbanyi. 2007. Cryopreservation of common carp (Cyprnius carpio) sperm in 1.2 and 5 ml straws and occcurence of haploids among larvae produced with cryopreserved sperm. Dalam: Sunarma, A. 2007. Kriopreservasi spermatozoa ikan nilem (Osteochilus hasseltii) menggunakan ekstender dan krioprotektan berbeda. Tesis Program Pascasarjana - Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto: xvii + 73 hlm.

IT IS (=Integrated Taxonomic Information System). 2010. Barbonymus gonionotus. Juli 2010: 1 hlm. http://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&search_value=688444, 1 Juli 2010, pk. 13.00.

Jamieson, B.G.M. 1991. Fish evolution and systematic: Evidence from spermatozoa. 1st ed. Cambridge University Press, New York: xv + 319 hlm.

Kopeika, E., J. Kopeika & T. Zhang. 2005. Cryopreservation of fish sperm. Dalam: Day, J.G. & G.N. Stacey (eds.). 2007. Methods in molecular biology: Cryopreservation and freeze-drying protocols. 2nd ed. Humana Press Inc., Totowa: xi + 347 hlm.

Lahnsteiner, F., N. Mansour & T. Weismann. 2002. The cryopreservation of spermatozoa of the burbot, Lota lota (Gadidae, Teleostei). Cryobiology 45: 195--203.

Li Jun, Liu Qinghua & Zhang Shicui. 2006. Evaluation of the damage in fish spermatozoa cryopreservation. Chinese journal of oceanology and limnology 24(4): 370--377.

McGuigan, B. 2010. What is methanol?. 2010: 1 hlm. http://www.wisegeek.com/what-is-methanol.htm, 23 Juli 2010, pk. 13.05.

Muchlisin, Z.A., R. Hashim & A.S.C. Chong. 2004. Preliminary study on the cryopreservation of tropical bagrid catfish (Mystus nemurus) spermatozoa: The effect of extender and cryoprotectant on the motility after short-term storage. Theriogenology 62: 25--34.

Muchlisin, Z.A. 2005. Review: Current status of extenders and cryoprotectants on fish spermatozoa cryopreservation. Biodiversitas 6(1): 12--15.

Nai-Hsien Chao, N.H., W.C. Nai-Hsien Chao, K.C. Liu & I.C. Liao. 1987. The properties of tilapia sperm and it’s cryopreservation. Journal Fish Biodiversity 30: 107--118.

Nugroho, E. & A.H. Kristanto. 2008. Panduan lengkap ikan konsumsi air tawar popular. Penebar Swadaya, Jakarta: iv + 164 hlm.

Rahayu, S. 2009. Pengaruh kuning telur sebagai ko-krioprotektan terhadap kualitas spermatozoa ikan tawes, Barbonymus gonionotus (Bleeker, 1850) satu hari pascakriopresrvasi. Skripsi S1 - Biologi FMIPA UI, Depok: ix + 94 hlm.

Rahman, F., M.R.I. Sarder & M.A. Rouf. 2009. Comparison of growth performance between cryopreserved and fresh sperm-originated fry of Barbonymus goionotus. J. Bangladesh Agril. Univ. 7(1): 145--149.

Rajeev, L. 2010. Skim Milk Calories in Skim Milk. 2010: 2 hlm. http://www.buzzle.com/articles/skim-milk-calories-in-skim-milk.html, 16 Juli 2010, pk. 22.45.

Rurangwa, E. I. Roelants, G. Huyskens, M. Ebrahimi, D.E. Kime & F. Ollevier. 1998. The minimum effective spermatozoa : egg ratio for artificial insemination and the effects of mercury on sperm motility and fertilization ability in Clarias gariepinus. Dalam: Sunarma, A. 2007. Kriopreservasi spermatozoa ikan nilem (Osteochilus hasseltii) menggunakan ekstender dan krioprotektan berbeda. Tesis Program Pascasarjana - Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto: xvii + 73 hlm.

Rurangwa, E., D.E. Kime, F. Ollevier & J.P. Nash. 2004. The measurement of sperm motility and factors affecting sperm quality in cultured fish. Aquaculture 234: 1--28.

Routray, P., D.K. Verma, S.K. Sarkar & N. Sarangi. 2007. Recent advances in carp seed production and milt cryopreservation. Fish Physiology Biochemistry 10: 1--15.

Salisbury, G.W. & N.L. VanDemark. 1985. Fisiologi reproduksi dan inseminasi buatan pada sapi. Terj. dari Reproductive physiology and induced breeding, oleh Djanuar, R. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta: xv + 869 hlm.

Simione, F.P. 2003. Cryopreservation manual. Nalge Nunc International Corp., Los Angeles: 13 hlm.

Singsee,S., U. Imsilp, P. Pewnane, & N. Sukumasavin. 2005. Preservation of Cirrhinus microlepis sperm. Proceedings of 7th Technical Symposium on Mekong Fisheries Ubon Ratchathani, Thailand, 15th-17the November 2005: 205--211.

Sukumasavin, N. 2008. Advanced freshwater aquaculture :Fish reproduction. Inland Fisheries Rasearch and Development Bureau, Department of Fisheries, Thailand: 133--159 hlm.

Sultana,M., M. Nahiduzzaman, M.M. Hasan, M.U.H. Khanam & M.A.R. Hossain. 2010. J. Zool. Rajshahi. Univ. 28: 51--55.

Sunarma, A. 2007. Kriopreservasi spermatozoa ikan nilem (Osteochilus hasseltii) menggunakan ekstender dan krioprotektan berbeda. Tesis Program Pascasarjana - Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto: xvii + 73 hlm.

Supriatna, J. 2008. Melestarikan alam Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: xx + 482 hlm.

Tambing, S.N. 2005. Penyimpanan pembawa materi genetik ternak dengan teknik kriopreservasi. 2010: 2 hlm. http://sulsel.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=175:penyimpanan-pembawa-materi-genetik-ternak-dengan-teknik-kriopreservasi-&catid=44:buletin-volume-i-nomor-i-tahun-2005&Itemid=53, 23 Juli 2010, pk. 13.50.

Terra (Terra Nitrogen Corporation). 2001. Methanol. April 2001: 8 hlm. http://www.methanol.org/pdf/MethanolMSDS.pdf, 16 Juli 2010, pk. 21.37.

The Dairy Council. 2010. Varieties of milk. 2010: 2 hlm. http://www.milk.co.uk/page.aspx?intPageID=43, 23 Juli 2010, pk. 13.01.

Torres. 2010. Barbonymus gonionotus (Bleeker, 1850). April 2010: 1 hlm. http://www.fishbase.org/physiology/MorphDataSummary.php?genusname=Barbonymus&speciesname=gonionotus&autoctr=290, 1 Juli 2010, pk. 13.01.

Viveiros, A.T.M., N. So & J. Komen. 2000. Sperm cryopreservation of African catfish, Clarias gariepinus: Cryoprotectants, freezing rates and sperm:egg dilution ratio. Theriogenology 54: 1.395--1.408.

Watson, P.F. 2000. The causes of reduced fertility with cryopreserved se-

men. Dalam: Gazali, M. & S.T. Tambing. 2001. Kriopreservasi Sel Spermatozoa. Hayati 9(1): 27--32.

WHO (=World Health Organization). 1988. Penuntun laboratorium WHO untuk pemeriksaan semen manusia dan interaksi semen-getah serviks. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: xiv + 78 hlm.

Zuraida. 2005. Pengaruh kombinasi 5% metanol dengan berbagai konsentrasi susu skim terhadap kualitas spermatozoa ikan tawes, Barbonymus gonionotus (Bleeker, 1850) satu hari pascakriopresrvasi. Skripsi S1 - Biologi FMIPA UI, Depok: ix + 112 hlm.

Tidak ada komentar: